Senin, 25 April 2011

Memupuk bibit wirausaha di tengah aktivitas TKI Hong Kong

* Bisnis Indonesia
* Jasa

Pada 2-5 Juli 2010, wartawan Bisnis Indonesia Hilda Sabri Sulistyo berkesempatan mengikuti undangan pelatihan kewirausahaan TKI di Hong Kong atas undangan Universitas Ciputra Entrepreneur Center dan Kemenakertrans. Berikut laporannya.

Ruangan seketariat Majelis Taklim Taman Kerohanian Wanita Islam Indonesia (TKWII) di Haven Street Causeway Bay, Hong Kong dipadati oleh wanita-wanita berjilbab yang tengah menyiapkan konsumsi untuk pelantikan ketua barunya siang itu.

Markas mereka terasa sesak meski hanya diisi dengan tiga unit komputer, satu tempat tidur dan satu lemari plastik dengan banyak rak. Asian, ibu satu anak berusia 46 tahun asal Desa Dampit, Malang bersama puluhan rekannya yang tergabung dalam TKWU duduk lesehan di lantai sambil menyiapkan konsumsi dan bertukar informasi dengan teman-temannya setelah tidak bei jumpa selama 1 pekan terakhir.

Untuk menjalankan organisasi itu mereka harus mengeluarkan biaya paling sedikit 7.000 dolar Hong Kong untuk menyewa ruangan di sebuah apartemen yang letaknya hanya beberapa langkah dari Konsulat Jenderal RI (KJRI) di Hong Kong.

"Kalau aktivitas Majelis Taklimnya kami boleh menggunakan musala di Konjen RI. Namun, untuk aktivitas organisasi kami sewa sendiri karena di tempat ini berbagai macnm keterampilan, seperti menjahit, memasak, komputer dilakukan termasuk membantu sesama TKI yang sedang bermasalah," tutur Asiati, salah satu TKI yang sudah 11 tahumbekeria di Negeri eks koloni Inggris itu.

Setiap Sabtu dan Minggu, kantor sekretariat majelis taklim itu memang dipadati anggotanya dari seluruh wilayah Hong Kong. Ada diantara mereka yang bisa menikmati libur akhir pekan selama 2 hari, tetapi sebagian besar hanya libur pada Minggu dan dimanfaatkan untuk aktivitas keagamaan ataupun menambah keterampilan.

Usaha Katering

Asiati menjelaskan untuk membayar sewa ruangan setiap bulan mengandalkan usaha katering untuk makan siang bersama setiap Sabtu atau Minggu. Setiap orang dikenakan biaya 25 dolar Hong Kong. Mereka bisa hemat sebesar 25 dolar karena di warung-warung Indonesia di sekitar gedung Konjen harus merogoh kocek 50 dolar untuk makan siang.

"Keuntungan dari berbagai usaha lainnya seperti belajar komputer masuk kas untuk membayar sewa ruangan," kata Asiati di dampingi Atika, ketua Majelis Taklim TKWII asal Kediri yang sudah 12 tahun bermukim di sana. Sebagai pengurus majelis taklim yang membidangi usaha, Asiati dan rekan-rekannya bukan hanya membidani organisasi yang dibentuk pada 2009 itu. Mereka bahkan sudah mendirikan yayasan di Tanah Air untuk membantu pemerintah di bidang pendidikan.

Kegiatan kerohanian, ungkapnya, menjadi obat rindu dan menambah semangat bekerja karena itu setiap minggu di musala KJRI mulai dari pagi hingga setelah salat magrib banyak digunakan untuk kegiatan keagamaan mulai dari belajar sholat, belajar mengaji, mendengarkan ceramah, berzikir hingga tadabur Alquran.

Tidak bisa dipungkiri, masa-masa tinggal di penampungan dan ke rinduan pada pasangan hidup di Tanah Air membuat sejumlah TKW akhirnya menjadi lesbi, melakukan hubungan dengan sesama jenis. Fenomena itu kami atasi dengan memberikan bimbingan pada mereka yang baru datang dan menunjukkan tanda-tanda kearah lesbi denganmengajak mereka untuk mendekat pada ajaran Allah," ungkapnya.

Hasilnya cukup menggembirakan. Dengan masuk ke lingkungan majelis taklim anak-anak yang baru datang dengan kelainan itu akhirnya bisa menata hidupnya kembali. Malah ketika libur, mereka dimotivasi untuk berdagang. Jangan heran jika berkumpul di Victoria Park, taman kota yang identik menjadi tempat tongkrongan TKI. Banyak di antaranya yang berdagang nasi rames, kacang rebus, aksesori hingga jilbab dan baju-baju muslim.

"Bibit entrepreneur sebenarnya sudah ada diantara para TKI apalagi KJRI bekerjasama dengan banyak lembaga di Indonesia kerap bergantian memberikan bermacam kursusketrampilan. Kalau memang ingin mengubah nasib seharusnya teman-teman bisa berwirausaha sepulang ke Tanah Air," ungkap Asiati.

Itulah sebabnya dia menyambut baik penyuluhan kewirausahaan {entrepreneurship) yang dilakukan Balai Besar Peningkatan Produktivitas Kemnakertrans dengan Universitas Ciputra Entrepreneur Center (UCEC) pada 5 Juli di KJRI.

Pedagang kaki lima

Asiati mengungkapkan sebelum berangkat ke Hong Kong menjadi pedagang kaki lima. Beruntung mendapat majikan yang baik dan selama 11 tahun tidak pernah ganti majikan sehingga leluasa berorganisasi dan mencari tambahan penghasilan. Majikannya adalah polisi dan setiap Selasa dan Jumat malah memberikan penyuluhan bagi TKI yang baru datang soal tata tertib lalu lintas di Hong Kong, dan membantu KJRI.

Di sela-sela waktu libumya, Asiati mengajar angklung, mengajar tari, menerima jasa perawatan wajah dan rambut. Berbagai usaha lain dari kemahirannya memasak yang diperolehnya semasa di perantauan. Ibu satu anak berusia 19 tahun yang akan menyelesaikan kontrak kerjanya Desember mendatang sudah berancang-ancang untuk membuka usaha salon dan butik.

"Hasil kerja selama ini sudah menjadi 3 buah kebun kopi lebih dari satu hektare yang dikelola suami sehingga dia sudah berpenghasilan sendiri dari kebun. Penyuluhan entrepreneurship melengkapi pengetahuan kami yang selama ini hanyatahunya berdagang," jelasnya.

Dia baru paham bahwa kreativitas dan inovasi sangat dibutuhkan untuk melengkapi ilmu berdagang yang selama ini sudah dilakukannya. Karena itu sepulangnya nanti ke Tanah Air, dia sudah paham bahwa usaha salon dan butik yang ingin dijalaninya bersama putri tunggalnya sudah menjamur sehingga dia harus melakukan terobosan untuk terjun ke bisnis itu.

Antonius Tanan, Presdir UCEC yang memberikan penyuluhan pada 230 TKIdi KJRI itu, mengatakan penyuluhan yang seharusnya diperoleh sebelum berangkat ke negara penempatan itu diharapkan dapat merubah mindset dari pencari kerja nantinya di Tanah Air malah menjadi pencipta lapangan kerja.

"Sebelum penyuluhan kami minta para peserta mengisi formulir mengenai bio data sekaligus menulis harapannya setelah menyelesaikan kontrak kerja menjadi TKI dan 90% menyatakan ingin membuka usaha. Oleh karena itu, penyuluhan entrepreneurship ini diharapkan lebih memotivasi mereka mewujudkan cita-cita itu," tambahnya.

Yayasan Ciputra datang untuk membantu mereka berani berubah, ibaratnya kalau mau wirausaha harus berani mencoba sama seperti orang berenang harus berani masuk air dan belajar sendiri. Dengan demikian hasil kerja belasan tahun di negara orang tidak hilang begitu saja tetapi menjadi suatu investasi yang bermanfaat bagi diri mereka sendiri dan orang lain. (hilda.sabrt@blsnis.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar